Admin - Tahun 2045 menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia yang dikenal dengan visi Indonesia Emas. Pada tahun tersebut, Indonesia bercita-cita menjadi negara maju dengan perekonomian yang kuat, pemerataan kesejahteraan, keadilan sosial, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing global. Target utama meliputi peningkatan kualitas hidup masyarakat, penguasaan teknologi, dan keberlanjutan lingkungan.
Untuk mewujudkan visi besar tersebut, kunci utamanya terletak pada pengembangan SDM yang berkualitas. Pada konteks ini, SDM unggul tidak hanya cakap secara intelektual, tetapi juga memiliki moralitas tinggi, integritas, dan keterampilan untuk menghadapi tantangan global. Terdapat tujuh ciri SDM berkualitas, yakni memiliki kemampuan akademik dan kognitif, terampil bersosialisasi dan berkomunikasi, mempunyai etos kerja dan disiplin, mampu beradaptasi dan memecahkan masalah, memiliki sikap dan karakter positif, toleran dan saling menyayangi, serta memiliki keseimbangan fisik dan mental.
Mewujudkan SDM dengan kualitas tersebut tentu memerlukan sarana yang tepat, dan pendidikan menjadi opsi logis sebagai wadah utama dalam membentuk generasi unggul. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana mentransfer ilmu, tetapi juga sebagai ruang pembentukan karakter dan nilai moral. Dalam proses ini, pendidikan berperan sebagai jalan utama untuk mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki integritas dan kesiapan menghadapi tantangan masa depan.
Tantangan Global
Namun, di tengah peran strategis yang diemban, sistem pendidikan sedang berhadapan dengan tantangan yang tidak dapat diabaikan. Salah satunya adalah isu kemanusiaan. Dalam satu dasawarsa belakangan ini, kemanusiaan tengah menjadi isu hangat, baik pada tataran global maupun lokal. Pada tataran global, misalnya, sudah sangat intens muncul ke permukaan isu-isu, seperti perang saudara, konflik antarnegara, diskriminasi, dan lain sebagainya (Teknosional, 2024; Tempo, 2024). Demikian juga pada tataran lokal-nasional, Indonesia masih berhadapan langsung dengan kenyataan serupa. Isu-isu seperti intoleransi (Satria, 2017), pencederaan terhadap kebebasan beragama (Mantalean & Santosa, 2024), atau konflik sosial (Wangge, 2023) masih sering muncul.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Agama RI, Nasarudin Umar menyampaikan tantangan global berupa fenomena dehumanisasi. Hal ini ditandai terutama dengan meluasnya kekerasan dan konflik yang sering kali membawa jumlah korban yang mengkhawatirkan. Menag berprinsip bahwa humanity is only one (Rani, 2024; Yaputra, 2024) sehingga peran pemberdayaan umat difokuskan pada basis kemanusiaan dan harmoni kehidupan. Pada konteks ini, agama sering kali diperalat untuk menjadi dalil atas tindak kekerasan yang mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang. Padahal, peran agama harus mencakup peningkatan dan pemeliharaan martabat setiap kehidupan manusia. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar adanya deklarasi Istiqlal pada akhir tahun 2024.
Fenomena dehumanisasi semacam ini tentu memiliki dampak destruktif bagi individu dan masyarakat. Hal-hal seperti ketakutan, kebencian, dan konflik akan semakin tampak ke permukaan. Oleh karena itu, penting untuk mengatasi fenomena ini dengan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, seperti empati, toleransi, dan kesetaraan yang kesemuanya berlandaskan pada cinta.
Tantangan Dunia Pendidikan Nasional
Khusus konteks Indonesia, isu-isu tersebut sangat potensial menjadi tantangan besar yang rumit apabila tidak segera dilakukan pencegahan melalui pendekatan komprehensif dan berkelanjutan. Indonesia sangat identik dengan keberagaman yang mencakup aspek agama, budaya, suku, bahasa, sampai pada adat istiadat yang terhampar dari Sabang hingga Merauke. Di satu sisi, keberagaman ini secara afirmatif menjadi kekayaan dan identitas nasional. Namun, di sisi lain, hal ini juga secara negatif dapat memicu konflik jika tidak dikelola dengan baik (Dihni, 2023).
Untuk mengatasi tantangan dan mewujudkan pendidikan yang diharapkan, dibutuhkan solusi yang strategis dan tepat sasaran, salah satunya adalah adanya kurikulum yang relevan, efektif, dan berkualitas. Pada konteks ini, Kurikulum Berbasis Cinta hadir sebagai solusi strategis untuk merespons tantangantantangan tersebut sekaligus berupaya mengatasinya melalui wadah pendidikan. Pendidikan menjadi titik berangkat yang tepat, setidaknya, berlandas pada dua alasan:
Pertama, pendidikan merupakan pilihan lokus yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai sejak dini. Melalui pendidikan, anak-anak dan generasi muda dapat dibentuk menjadi individu yang memahami, menerima, menghargai, serta memberi warna pada keberagaman. Kurikulum Berbasis Cinta merupakan kurikulum yang inklusif yang memberikan kesempatan bagi murid untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang keberagaman. Proses internalisasi nilai-nilai seperti cinta, toleransi, empati, dan keadilan sosial dapat dilakukan secara sistematis dan terstruktur sejak usia dini.
Kedua, di lembaga pendidikan sendiri telah terjadi isu-isu minor yang mengarah pada pencederaan nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya, masih ditemukan praktik diskriminasi berbasis identitas di lingkungan sekolah, seperti perundungan serta kekerasan (Wardah, 2024; Wibowo, 2024) terhadap murid hingga isu intoleransi (Naufal & Arbi, 2022). Oleh karena itu, Kurikulum Berbasis Cinta hadir untuk merekonstruksi (menata kembali) sistem pendidikan agar mampu melahirkan insan yang humanis, nasionalis, naturalis, toleran, dan selalu mengedepankan cinta sebagai prinsip dasar dalam kehidupan.
Peran Kurikulum Berbasis Cinta
Kurikulum Berbasis Cinta memiliki peluang untuk tidak hanya berorientasi pada penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan di tingkat lokal, tetapi juga berkontribusi pada penyelesaian tantangan global. Melalui pendekatan yang mengintegrasikan nilai-nilai cinta dan toleransi ke dalam pembelajaran, kurikulum ini menawarkan solusi untuk berbagai konflik sosial, diskriminasi, dan ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dengan demikian, Kurikulum Berbasis Cinta menjadi sebuah langkah strategis untuk menciptakan dunia yang lebih damai, harmonis, dan berkeadaban yang berada dalam satu kesatuan kerangka utuh berupa sikap saling mencintai antarsatu dengan yang lain.
Di era kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, masih banyak murid yang mengabaikan sains. Mereka melihat sains hanya sebagai mata pelajaran di madrasah, bukan sebagai cara memahami kehidupan dan alam semesta. Kurangnya minat terhadap sains sering kali berakar dari pendekatan pembelajaran yang kaku dan minim relevansi dengan kehidupan nyata. Akibatnya, banyak murid yang hanya menghafal teori tanpa memahami makna mendalam di baliknya.
Dalam Kurikulum Berbasis Cinta, sains tidak hanya dipandang sebagai kumpulan fakta dan rumus, tetapi sebagai jalan menuju kebijaksanaan dan kasih sayang terhadap ciptaan Sang Khaliq. Kurikulum ini hadir untuk mengatasi ketidakpedulian murid terhadap sains dengan menghubungkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas, dan kebermanfaatan bagi sesama.
Sebagai langkah awal untuk mewujudkan implementasi Kurikulum Berbasis Cinta di madrasah, perlu disusun sebuah panduan yang menjadi rambu-rambu bagi para pemangku kepentingan dalam melaksanakannya.
Lebih lengkap terkait Keputusan Dirjen Pendis Nomor 6077 Tahun 2025 tentang Panduan Kurikulum Berbasis Cinta silakan unduh filenya dibawah ini:
Keputusan Dirjen Pendis Nomor 6077 Tahun 2025 tentang Panduan Kurikulum Berbasis Cinta
Posting Komentar
0Komentar